GAGASAN PLURALISME HUKUM DALAM KONTEKS GERAKAN SOSIAL

Pluralisme hukum, secara langsung maupun tidak, telah menjadi bagian dari suatu identitas politik lokal yang berperan dalam membangkitkan bekerjanya sistem sosial lokal. Ini bisa dilihat dari bagaimana masyarakat yang memiliki sistem lokal menempatkan posisinya resisten atas tafsir kekuasaan negara atas wilayah kekuasaan lokal, baik dalam perebutan sumberdaya lingkungan dan akses politik lokal.

Yang menjadi pusat perhatian dalam memotret realitas yang demikian adalah, gagasan merevitalisasi kajian pluralisme hukum, yang sesungguhnya lebih pada upaya mendayagunakannya dalam model gerakan sosial untuk mencapai perubahan dan meluasnya perwujudan keadilan sosial. Di sinilah yang kerapkali dikesampingkan, kalau tidak mengatakan dilupakan, untuk menunjukkan superioritas peran sentral dan monopolistik negara dengan tafsir kekuasaan dan imperialisme hukum‐hukum (positif)nya.

Ada empat bagian yang hendak diuraikan berkaitan dengan pilihan judul dan fikiran pengantar di atas, yakni pertama, memetakan situasi yang terjadi dalam konteks gerakan sosial hukum, kemudian kedua, analisis terhadap arus utama wacana hukum yang berkembang, ketiga, mengkaji pluralisme hukum sebagai alat strategis dalam merespon konflik, serta keempat, tinjauan ke depan terutama dikaitkan dengan ruang peluang dan bahaya pluralisme hukum itu sendiri.

I.Konteks Gerakan Sosial Hukum

Setelah tumbangnya rezim otoritarian militer Soeharto pada 1998, yang disertai dengan kebangkrutan struktural negara atas perannya yang sudah mengalami krisis ekonomi politik luar biasa, melahirkan perombakan di berbagai bidang.

Perombakan ini, yang kerapkali dilekatkan dengan istilah reformasi, memasuki pula wilayah hukum dalam segala hal. Mulai dari produk‐produk hukum negara, dari urusan konstitusi atau amandemen I‐IV Undang‐Undang Dasar 1945, revisi berbagai perundang‐undangan yang dianggap bermasalah, terutama menyangkut porsi kekuasaan politik sentralisme Jakarta (pusat) dengan daerah, dengan dukungan pula kebijakan perundang‐undangan yang merombak sistem pemilu secara bertahap dan demokratis. Sistem peradilan pun tidak luput dari bagian yang direformasi, dari soal kekuasaan kehakiman, peradilan umum, tata usaha negara, hingga pembentukan Mahkamah Konstitusi.

Konstelasi politik yang demikian menciptakan pergeseran‐pergeseran struktural cukup signifikan di level negara. Tidak lebih dari sewindu pemerintahan sejak 1998, urusan impeachment jabatan kepresidenan sekalipun, bukanlah hal yang sakral sebagaimana terjadi di masa rezim Orde Baru. Gelombang demokratisasi kelembagaan negara, dengan desakan penyelenggaraan kekuasan yang baik dan bertanggung jawab, menjadi ikon yang gencar diangkat para elit politik di parlemen maupun di birokrasi. Singkat cerita, situasi ‘aufklarung’ (pencerahan) yang belum pernah terjadi dalam pentas gemuruh politik hukum sebelumnya, kini terjadi. Kalau toh terjadi sebelumnya hanyalah gemericik situasional yang tidak lepas dari ritualitas politik pemilu, yang kerapkali disebut sebagai pesta demokrasi rakyat Indonesia, tetapi kini telah banyak berubah ke arah yang diharapkan banyak pihak lebih baik.

Ironisnya, dalam perkembangan proses demokratisasi pada kenyataannya mengalami banyak pergeseran dari harapan ideal yang diinginkan dari reformasi. Dalam konteks lokal, justru banyak terjadi penyingkiran‐penyingkiran masyarakat adat, petani, komunitas pesisir, dan komunitas yang memiliki sistem sosial budaya tersendiri. Kasus yang terjadi pada masyarakat adat misalnya, sebagaimana terjadi pada orang‐orang Kulawi Moma atas tanah dan hutan adatnya seluas kurang lebih 8.600 hektar, yang digerus hak‐haknya oleh klaim penetapan Taman Nasional Loro Lindu (TNLL), apalagi sejak negara menfasilitasi kehadiran PT. Hasfarm‐Napu yang memiliki konsesi Hak Guna Usaha. Belum lagi ancaman dari rencana kebijakan daerah Kabupaten Pasir (2003) yang tidak mengakui adanya tanah‐tanah ulayat melalui Raperdanya.

Hal serupa terjadi pada petani yang memiliki kearifan dalam pengelolaan pertanian dan hutan Siti Soro di Desa Gambaranyar, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, harus berhadapan dengan klaim‐klaim Perhutani maupun perkebunan atas tanah‐tanah ulayat dan tanaman rakyat. Demikian pula yang terjadi atas tanah hutan rakyat di Dusun Sendi, Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto yang berhadapan dengan klaim‐klaim Perhutani. Kedua kasus terakhir ini

merupakan tanah yang telah direklaiming oleh petani yang terjadi di Jawa Timur, namun negara tidak mengakuinya sebagai tanah‐tanah rakyat.

Negara, dengan tafsir penguasaan melakukan penyingkiran dan penyangkalan hak‐hak komunitas atas tanah dan sumberdaya alam. Penyingkiran dan penyangkalan yang demikian tidak sekedar hanya dalam format konflik hukum, yang melibatkan rangkaian tafsir negara versus komunitas lokal atas hukum. Tetapi, lebih ekstrem lagi, bahwa tafsir tersebut dilekatkan secara formal melalui bahasa‐bahasa hukum (‘resmi’) melalui institusi dan prosedur sentralistik, dan pendayagunaan sirkuit kekerasan untuk menopang bahasa kekuasaan tersebut. Bila perlu, negara mereproduksi kekerasan ideologi sebagaimana tesis Althusser atau menghegemoni wacana seperti yang difikirkan Gramsci. Oleh sebab itu, hukum, dalam mengangkat konsepsi pluralisme hukum, praktik di lapangan menunjukkan akan berhadapan dengan situasi kekerasan dan penindasan semacam ini, bilamana negara selalu dalam posisi superior untuk mempertahankan politik kekuasaannya sendiri.

Faktor yang demikian telah menghambat secara langsung, membatasi pembentukan atau upaya merevitalisasi hukum‐hukum lokal, termasuk dalam kaitannya dengan mempertahankan sistem sosial budaya yang hidup di masyarakat. Aras wacana dominan negara atas tafsir hukum, tidak hanya merasuk dari cara mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan kesewenang‐ wenangannya, melainkan juga telah merangsek masuk dalam wilayah pendidikan hukum yang memperkuat arus dominasi tersebut. Lebih‐lebih, dukungan dari negara dan kelompok pemodal besar nasional dan transnasional, menyajikan suguhan yang menggiurkan para intelektual untuk mengikuti arus besar tersebut. Dalam situasi yang demikian, maka waktak neo‐liberalisme juga demikian menguat tidak hanya pada basis kendali politik dan ekonomi, tetapi masuk pula dalam dunia pendidikan hukum.

Konsepsi pluralisme hukum, seringkali pula dipandang sebagai bagian yang menggerus unsur kepastian hukum, menentang produk resmi negara, mengacaukan penataan institusi formal dalam menyelesaikan masalah, dan dalam bentuknya yang paling ekstrim adalah menggerogoti ‘rule of law’. Kritik terhadap pluralisme hukum seringkali dilontarkan dalam kaitannya dengan kepraktisannya dalam mengatur hubungan sosial, dimana hukum negara dipandang akan lebih bisa menuntaskan dan berada di atas semua pihak sebagai titik temu segala perbedaan.

Dengan kritik‐kritik terhadap pluralisme hukum yang demikian, sedikit demi sedikit kajian‐kajian tersebut mulai ditinggalkan dan tidak banyak yang meminati lagi, terutama dalam konteks modernisasi dan arus besar globalisasi, yang

menghendaki serba ‘everything legalised’ (segalanya terlegalisasi, atau bersandarkan pada hukum yang berlaku). Pertanda ini bisa dibaca dari dihapuskannya mata kuliah antropologi hukum dari kurikulum pendidikan tinggi hukum di beberapa fakultas hukum di Indonesia. Atau, setidaknya menurunkan derajadnya dari mata kuliah wajib ke mata kuliah pilihan bagi mahasiswa hukum.3

Sedangkan di sisi lain, terutama di kalangan pengambil kebijakan, pluralisme hukum dianggap sebagai sesuatu yang menyusahkan dalam pembentukan hukum yang mengatur komunitas lokal tertentu, bahkan seringkali bertentangan dengan keinginan pejabat politik, baik yang duduk di parlemen maupun di birokrasi. Apalagi bilamana dalam proses pembentukan hukumnya (hukum negara), komunitas lokal tidak diajak untuk merumuskan atau dilibatkan secara partisipatif. Rakyat, adat, atau komunitas lokal tertentu memiliki hukum‐hukum atau praktek keseharian yang memiliki dimensi normatif, kerapkali menolak secara tegas aturan yang dibuat oleh pemerintah. Contoh sederhananya, masyarakat adat di pedalaman Papua atau Kalimantan, adalah masyarakat yang mempertahankan tanah‐tanah adat dalam hubungannya sebagai tempat membangun kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan religius. Tetapi, kebijakan pemerintah menerapkan program sertifikasi hak atas tanah‐tanah tersebut, telah memicu konflik soal legalisasi tanah yang seolah‐olah hanya bersumber dari hukum negara. Padahal, masyarakat adat juga memiliki model legalisasi yang diterapkan dalam komunitas lokalnya sendiri. Tak pelak lagi, konflik legalisasi semakin keras terjadi pasca pemerintah mengeluarkan konsesi‐konsesi Hak Penguasaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Hak Guna Usaha, dan hak‐hak lainnya yang masuk dan menindihi wilayah tanah‐tanah adat tersebut.

Tetapi, dengan situasi yang demikian, setidaknya ada dua permasalahan yang sering terungkap dan menghadapkan kalangan pemerhati hukum maupun pendamping hukum rakyat dalam meresponnya, yakni: Pertama, adanya kesulitan menjelaskan proses yang sedang berlangsung dari kaca mata konsep hukum di luar hukum mainstream. Atau dengan kata lain, ia kesulitan untuk mengangkat dan memainstreamkan hukum lokal sebagai jawaban alternatif atas tafsir situasi yang demikian. Kedua, pluralisme hukum dipahami secara vulgar dan disederhanakan sebagai anti‐hukum negara. Yang kedua ini merupakan pandangan tradisional yang memasang perangkap diametral atas berlakunya hukum negara dan hukum yang bukan berasal dari negara. Dalam pemahaman lebih komprehensif melihat bahwa relasi hukum negara dan hukum yang bukan berasal dari negara adalah

3 Persoalan tentang status (kalau tidak dikatakan sebagai nasib) mata kuliah antropologi hukum, telah didiskusikan secara khusus oleh sejumlah pengasuh (dan mantan pengasuh) mata kuliah tersebut dengan HuMa di Jakarta (Lokakarya Revitalisasi Pendekatan Pemikiran Ilmu Sosial tentang Hukum, Jakarta, 4-5 Maret 2005). Dan sebagian besra dari mereka menyatakan bahwa persoalan yang terjadi dalam mata kuliah tersebut adalah minat yang kurang, tidak hanya dari mahasiswa hukumnya, melainkan juga pengajarnya sendiri. Hal ini disebabkan mainstream kajian dan pengembangan keilmuan hukum yang lebih berorientasi pada penyediaan pangsa pasar di lapangan.

keduanya memiliki pengaruh dan saling bersinggungan, bahkan dalam prakteknya pun tidak se‐ekstrim yang digambarkan oleh banyak kalangan bahwa kedua hukum tersebut selalu bisa berjalan sendiri‐sendiri. Taruhlah contoh hukum negara yang tidak selalu diikuti oleh masyarakat karena masyarakat memiliki hukumnya sendiri, dan ini tidak berarti bahwa serta merta masyarakat menyangkal keberadaan hukum negara, tetapi masyarakat hanya membiarkan hukum negara (tekstual) ada, tetapi tidak melawannya, dengan cara mempraktikkan hukum lainnya. Karena relasi yang demikian, hukum‐hukum tersebut, sesungguhnya membentuk karakternya masing‐masing (lihat contoh pembentukan Peraturan Desa Cibuluh di Jawa Barat, tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan, menampilkan karakter lokal tetapi masih menggunakan sebahagian hukum negara di dalamnya).

Meskipun demikian, konflik antar hukum yang berlaku atas suatu wilayah seringkali menyebabkan hukum‐hukum lokal dikalahkan, dilemahkan, dan bahkan dilumpuhkan melalui proses otorisasi negara yang berhak mengabsahkan segala kebijakannya. Dari sisi ini sesungguhnya, konsepsi pluralisme hukum dalam konteks eksistensi dan upaya revitalisasi hukum‐hukum lokal menjadi relevan dalam membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil dan demokratis, terutama dalam menempatkan situasi‐situasi konflik dalam aras hukum non‐ negara, baik dalam hubungannya dengan negara maupun dengan hukum lokal lainnya. Lebih dari itu, arah gerakan sosial yang dibangun masyarakat sangatlah penting mengangkat isu pluralisme hukum sebagai perspektif alternatif dalam menata relasi politik negara‐rakyat, dan relasi ekonomi yang mendemokratisasikan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah tertentu. Semakin jelas bahwa transisi politik otonomi daerah telah mendorong dan membawa proses‐proses penataan tersebut dalam perdebatan lebih serius soal pluralisme hukum dan upaya menghargai dan melindungi hak‐hak asasi manusia.

II.Wacana Hukum Mainstream

Apa yang disebut dengan wacana hukum mainstream?4 Istilah tersebut digunakan untuk memudahkan menerjemahkan adanya kondisi dan situasi dominan penggunaan hukum‐hukum yang mengambil sumber utama dari negara, atau dihasilkan dari institusi‐institusi formal kelembagaan negara. Dalam pengertian lain, wacana hukum mainstream lebih menempatkan posisi negara atas tafsir monopolistik negara melalui perundang‐undangan untuk mendorong proses sentralisme hukum (legal centralism).

4 Mainstream, atau arus utama yang dimaksudkkan adalah yang paling berpengaruh atau mendominasi dalam pemikiran atau pelaksanaan hukum.

Seiring dengan perkembangan tata dunia dan teknologi yang semakin mudah berinteraksi satu dengan lainnya, disertai adanya ketergantungan antara negara yang satu dengan negara lainnya, maka hukum pun mengikuti model tata dunia tersebut. Artinya, hukum pun mengikuti aras transnational dalam konteks globalisasi. Mainstream jenis ini telah melahirkan pola baru semacam regionalisasi hukum yang menjadi tak terhindarkan, perjanjian‐perjanjian internasional dalam bidang apapun semakin mudah dilakukan, serta transaksi‐transaksi virtual pun sangat biasa di tengah teknologi yang tidak lagi mengenal batas‐batas wilayah negara.

Dari uraian‐uraian tersebut di atas, wacana hukum mainstream memperlihatkan adanya karakter‐karakter pula, yakni karakter struktural sebagaimana terlihat dari pemosisian negara sebagai sentral dan sumber pembentukan hukumnya, dan karakter transnasional yang tidak mengenal batas‐batas wilayah negara. Dari kedua jenis mainstream ini, ada jenis mainstream yang mempengaruhi dan menjadi titik temu di antara keduanya, yang tidak lagi bisa disebut karakter, tetapi lebih tepat menjadi ideologi yang masuk di dalam kedua mainstream tersebut. Ideologi kapitalisme liberal dalam wacana hukum mainstream inilah yang kini sedang melanda pola imperalisme ekonomi politik dunia, tentu melalui alat yang cukup efektif dan dipakai untuk mereproduksi proses‐proses berlangsungnya melalui hukum (positif)!

Mengapa ideologi kapitalisme liberal bertahan sebagai wacana hukum mainstream dalam konteks sekarang? Bila menyimak apa yang pernah ditawarkan dalam sebuah diskusi oleh Godoy, ia menjelaskan adanya tiga periodisasi proses pengarusutamaan hukum‐hukum yang dibentuk sebagai bagian dari wacana hukum, terutama berlakunya bagi negara‐negara “terjajah”. Pertama adalah masa yang disebutnya sebagai kolonialisasi, sebagaimana terlihat dalam sejarah Portugal di Mozambique dan Brasil, atau pendudukan Spanyol di Mexico dan Philippines. Kedua, hampir mirip dengan sebelumnya, adalah masa yang ia sebut dengan imperialisme kekuasaan, contohnya Inggeris di India dan di Afrika Selatan. Dan ketiga, adalah masa yang disebutnya sebagai globalisasi yang membentuk imperium‐imperium kekuasaan, seperti bekerjanya perusahan transnasional, lembaga keuangan internasional, atau negara‐negara yang memainkan peran sentral dalam kelembagaan internasional (terutama Amerika Serikat), yang peran sesungguhnya tak ubahnya seperti masa kolonialisasi dan imperialisme. Godoy, dalam tesisnya mengaitkan adanya pengarusutamaan wacana hukum dengan situasi kolonialisme, imperialisme dan globalisasi sebagai faktor penentu.5

5 Godoy, Arnold Moraes, Globalization, State Law and Legal Pluralism in Brazil, paper for Panel 7: Law, Theory, and Justice, the XIVth International Congress, Ausgust, 26-29, 2004, Fredericton, New Brunswick, Canada.

Dalam tulisan ini, difokuskan pada model tata dunia dalam globalisasi yang sangat mempengaruhi berlakunya hukum‐hukum dalam wacana hukum mainstream. Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa mainstream wacana hukum yang berbasiskan ideologi kapitalisme liberal, telah mempertemukan karakter struktural dan transnasional. Karakter struktural dan transnasional yang demikian menjadi alat efektif bekerjanya globalisasi, sehingga memperbincangkan globalisasi dalam konteks ini sebenarnya membicarakan ideologinya yang berbasiskan kapitalisme liberal.

Di lapangan, dengan mudah kita menemukan bagaimana wacana hukum mainstream tersebut bekerja. Misalnya, privatisasi dan komersialisasi yang diusung oleh Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, tidak cukup kita menganalisisnya sebagai produk dari para elit politik yang duduk di parlemen dan pemerintahan saja. Karena peran kelembagaan non‐negara (non state actors) seperti perusahaan‐perusahaan air swasta transnasional dan lembaga keuangan internasional6 ikut terlibat dalam mendorong proyek privatisasi dan komersialisasi tersebut. Begitu juga lahirnya Undang‐Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, maupun keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‐Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 20047 yang cukup kontroversial dengan memberikan ijin menambang di kawasan hutan lindung, adalah sangat jelas merupakan produk‐produk hukum yang dihasilkan dari persinggungan kepentingan negara dengan pemodal dalam konteks wacana hukum mainstream hari ini.

Tentu kehadiran hukum‐hukum tersebut menjadi ancaman serius bagi hukum‐ hukum lokal yang selama ini juga berlaku dalam pengelolaan sumberdaya air, hutan, tanah‐tanah leluhur, dan sumberdaya alam lainnya. Ancaman ini bukan sekedar persoalan pertarungan tekstualitas hukum, tetapi sudah menyangkut penyingkiran hak‐hak kehidupan masyarakat adat, petani, atau kelompok masyarakat lokal yang mempertahankan sistem sosial dan budayanya atas sumberdaya alam.

Dalam kajian pluralisme hukum, nampaknya sudah kurang relevan lagi mempertandingkan diskursus hukum negara versus hukum lokal (non‐negara) belaka, karena pemain‐pemain yang turut serta mempengaruhi hukum‐hukum tersebut, sehingga menjadi wacana hukum mainstream, tidak lagi sekedar

6Hal ini bisa terlihat dari program utang, antara lain dari Asian Development Bank dan World Bank dalam isu air, baik untuk program-program pemberdayaan lembaga pengelola air maupun perbaikan infrastruktur perairan/irigasi. Lebih lengkap, periksa http://donorair.bappenas.go.id/projectlocation.php; Jubille South, World Bank and ADB’s Role in Privatizing in Asia, paper (2004); R. Herlambang Perdana, Air, dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Besar Kapitalisme Global, Bahan untuk Pengantar diskusi di Pusham Unair, Desember 2003 (www.huma.or.id), dan, “Sambong” and Legal Conflict of Water Rights: Portrait the Clash Between State Law vs. Folk Law over Water Management in Madiun Disctrict, paper for Panel IV: Legal Constructions of Nature, the XIVth International Congress, Ausgust, 26-29, 2004, Fredericton, New Brunswick, Canada.

7Perpu Nomor 1 Tahun 2004 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.

berkarakter struktural dan transnasional, tetapi berideologikan kapitalisme liberal. Justru pertanyaan berikutnya adalah, apakah ideologi wacana hukum mainstream juga telah memasuki (baca: merasuki) hukum‐hukum lokal, sehingga sesungguhnya hukum lokal pun tidak ‘steril’ dari ideologi tersebut?

Jawabannya sederhana, bahwa ideologi tersebut bukan tidak mungkin masuk pula ke hukum‐hukum lokal. Karena kenyataan di lapangan ditemukan pula budaya komersialisasi atas penguasaan dan pemilikan terhadap sumberdaya alam yang sebelumnya pernah terjadi. Budaya yang demikian masih perlu penelusuran lebih jauh apakah hukum lokal yang demikian memperkenankan, ataukah sebenarnya melarang tetapi membiarkan praktek tersebut (lihat contoh kasus‐kasus tanah yang direklaiming, atau tanah‐tanah yang diambil kembali oleh masyarakat petani, adat, atau komunitas lokal lainnya tanpa melalui proses peradilan, tidak sedikit dari tanah‐tanah tersebut dijual atau disewa‐sewakan pada pihak lain).

Dengan sistem politik liberal seperti sekarang, dikaitkan dengan situasi berkembangnya wacana hukum mainstream yang berbasiskan ideologi kapitalisme liberal, para aktor yang terlibat dalam proses pengarustamaan tersebut tidak lagi dibaca negara an sich. Hal ini disebabkan sistem politik lokal dengan transisi menuju otonomi daerah seperti sekarang, tidak serta merta bicara demokratisasi di tingkat lokal, atau adanya jaminan partisipasi lokal semakin menguat. Kita menyaksikan dengan gamblang terjadinya proses kooptasi para aktor lokal dalam sistem politik kekuasaan formal, yang tidak semakin mendekatkan para elit politiknya kepada rakyat melainkan justru menjauhkan dari komunitas lokal dan masalah yang dihadapinya. Oleh sebab itu, selain ideologi kapitalisme liberal yang diusung dalam respon globalisasi, wacana hukum mainstream yang berkembang hari ini tidak lepas dari pula sistem politik yang mendorong jebakan kooptasi para aktor‐aktornya dalam sistem kekuasaan politik formal.

III.Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Alternatif

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa di tengah modernisasi budaya dalam era globalisasi, hukum menjadi sarana yang efektif untuk mendukung kebutuhan‐ kebutuhan interaksi sosial, ekonomi dan politik di dalamnya. Efektivitas, sebagai jargon dalam tata pemerintahan yang baik, sangat ampuh mempengaruhi cara berfikir negara dalam menata relasi politik dengan rakyatnya, dalam bidang apapun. Inilah yang kemudian diciptakanlah hukum‐hukum yang diberlakukan (hukum positif) yang memiliki ciri khas dibentuk melalui mekanisme formal struktur negara dan tertulis bentuknya 8. Kehadiran aturan normatif yang

8 Soetandyo Wignyosoebroto menjelaskan bahwa aspek formalistik mengedepankan prosedur yang tegas dan jelas. Dikelola oleh ahlinya membuat hukum hanya diketahui sejumlah orang yang khusus belajar tentang hukum. Sebagaimana adanya (as it is) berarti hukum hanya menangkap peristiwa yang inderawi dan mengabaikan pertarungan non-inderawi yang ada di belakangnya. Dituliskan membuat hukum terjebak ke dalam huruf-huruf di atas kertas yang terlepas bingkai sosial yang

demikian dirasakan semakin diperlukan, dan memiliki nilai penting dalam membangun interaksi‐interaksi tersebut, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Dengan konteks yang demikian, negara memiliki peran sentral dalam pembentukan peraturan perundang‐undangan, atau menciptakan hukum‐hukum tertulis. Secara politik, peran pembentukan hukum yang demikian memiliki legitimasi karena para pembentuknya (baik yang duduk di legilatif maupun eksekutif) terpilih melalui mekanisme formal pula. Karena faktor inilah, mereka memiliki kewenangan untuk menjalankan mandat politik rakyat.

Yang kerapkali menjadi persoalan adalah penggunaan kewenangan dalam negara tersebut yang membawa konsekuensi‐konsekuensi tertentu, termasuk dalam soal pemberlakuan hukum negara bagi rakyat. Konsekuensi ini akan semakin kentara ketika negara memiliki cara pandang positivistik dan menempatkan posisi hukum negara superior dibandingkan hukum‐hukum lokal yang ada sebagai hukum inferior. Pandangan ini lahir karena positivisme hukum begitu dominan karena sifat hukum yang diformalkan, institusional, dan definisional, serta dihasilkan dari proses penggunaan kewenangan dan tindakan negara (sentralisme), sementara di sisi lain belum ada paradigma lainnya yang mampu menawarkan jaminan atas status quo secara tegas dan jelas sebagaimana ditawarkan positivisme hukum. Bahkan tidak sedikit hukum‐hukum negara tersebut melemahkan atau menyingkirkan hukum lokal. Maka, dalam situasi yang demikian melahirkan konflik hukum yang menghadapkan antara dominasi hukum negara versus keragaman hukum lokal.

Dalam konteks Indonesia, yang memiliki begitu banyak dan beragamnya sistem sosial‐budaya, dan masih mempertahankan tradisi, kebiasaan‐kebiasaan atau adatnya, pun memiliki dimensi normatif tersendiri yang tidak bisa digeneralisasi, atau diseragamkan begitu saja dengan hadirnya hukum negara, meskipun pembentuknya dihasilkan oleh mekanisme formal yang paling demokratis sekalipun. Penyeragaman tata pemerintahan lokal, sebagaimana terjadi saat pemberlakuan Undang‐Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah maupun Undang‐Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, secara langsung maupun tidak, telah menghancurkan tatanan lokal. Unifikasi hukum dalam konteks itu, telah membenturkan masyarakat lokal dengan suatu sistem yang belum tentu sesuai dengan jiwa atau karakteristik lokal. Dalam bahasa lain, hukum rakyat yang merupakan produk yang dilahirkan dari rakyat, dikelola dan dipertahankan oleh rakyat dengan cara mereka, sesungguhnya tidak senantiasa

ada di belakangnya. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum, Paradigm, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan HuMa, Jakarta, 2002 hal 63-66.

dituangkan dalam bentuk tertulis. Hal ini terkait dengan relasi sosial, dimana hukum rakyat merupakan manifestasi dari jiwa masyarakat.9

Oleh sebab itu tidak mengherankan cara pandang positivisme yang demikian, akan melahirkan kontraksi‐kontraksi sosial, terutama bila diterapkan pada situasi dan ruang dimana masyarakat memiliki hukumnya sendiri untuk memecahkan persoalan‐persoalannya. Tentunya, bila kebekuan cara pandang positivisme dipertahankan, akan menemui jalan buntu dan memicu konflik dalam menerapkannya. Terlebih‐lebih, bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan dimana hukum dipergunakan sebagai alat represi terhadap hukum lokal dan komunitasnya.

Dalam situasi yang demikianlah, maka pendekatan pluralisme hukum dalam melengkapi cara untuk menyelesaikan masalah‐masalah yang terjadi di komunitas lokal menjadi relevan. Pendekatan pluralisme hukum ini secara kritis tidak sekedar melihat hukum (lokal) sebagai realitas, atau hukum sebagai kenyataan sosial.10 Tetapi pendekatan ini meyakini adanya proses penciptaan atau pembentukan, sehingga ia melihat adanya hubungan‐hubungan (baca: kepentingan) antara produk hukum dengan pembentuknya. Pembentukan hukum rakyat (atau hukum lokal)11, yang mendasarkan pada jiwa dan pengalaman interaksi sosial di tingkat lokal, tentunya menjadi lebih dekat secara psikologis dan secara budaya dibandingkan hukum‐hukum (negara) yang dimana mereka tidak terlibat membentuknya.

Misalnya, penerapan sanksi‐sanksi adat melalui peradilan adat/lokal dirasakan lebih tepat secara psikologis dan secara budaya bagi masyarakat setempat dalam menyelesaikan masalah.12 Dalam konteks ini, hukum‐hukum lokal bersifat lebih praksis dan memiliki karakter emansipatif, karena keterlibatan masyarakat setempat yang diperankan langsung oleh pemangku adat atau pemimpin informal‐lokal, serta bisa disaksikan secara mudah atau langsung oleh masyarakat setempat sehingga memiliki daya pengikat lebih kuat dibandingkan penerapan hukum‐hukum negara.

9Karl von Savigny dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar.

10Kleinhans, Martha-Marie & Roderick A. MacDonald, What’s Critical Legal Pluralism?, Canadian Journal of Law, Volume 12 No. 2, 1997, Page 25-46

11Keebet dalam salah satu tulisannya menuliskan definisi antara costumary law, indigeneous law, ‘adat’ law, flok law, dan local law, dan menganalisis perbandingannya, serta pada akhirnya ia memilih menggunakan local law (hukum lokal) sebagai definisi yang paling tepat, karena memandang hukum tersebut berada di wilayah lokal dengan tidak memandang darimana ia berasal. Lihat, Keebet von Benda Beckmann, “Legal Pluralism” dalam Tai Culture, International Review on Tai Cultural Studies, Vol VI No 1 and 2, SEACOM, Berlin, 2001, Page 20.

12Sebagai contoh di Papua, dalam wilayah dengan sistem pemerintahan Ondoafi, peradilan adat dipegang oleh Ondoafi (di Sentani dipegang oleh Ondofolo). Ia dibantu oleh Takai, yaitu jabatan kedua dengan fungsi mengawasi, memelihara, dan melaksanakan hukum adat. Begitu pula di Sumatera Barat, dalam pemerintahan Nagari, mereka lebih mengenal sanksi dalam putusan adat, seperti gabuak dampe (dibuang sepanjang adat); miang dikiki (untuk kesalahan yang agak berat), dll. Lebih lengkap, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Sistem Peradilan Adat dan Lokal di Indonesia: Peluang dan Tantangan, Partnership for Governance Reform-AMAN, 2003, hal. 17-62.

Konsepsi pluralisme hukum sangat penting dihadirkan kembali, bukan hanya karena hukum‐hukum lokal diperlukan untuk konteks kasus tertentu, tetapi juga karena konsepsi tersebut diperlukan untuk mendukung dan merespon gerakan sosial hukum dalam rangka membongkar tatanan rule‐centered paradigm, atau dalam arti menempatkan gerakan (atau juga kajian‐kajian) pluralisme hukum sebagai upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak‐hak asasi manusia. Konsepsi pluralisme hukum dalam konteks tersebut tidak sekedar restoratif sifatnya, melainkan menjadi konsep transformatif yang mendorong proses pemajuan hak‐hak masyarakat adat lebih substansial.

Dari sisi konsepnya, pluralisme hukum memperlihatkan setidaknya dua hal, yakni pertama, menyodorkan realitas secara lebih obyektif, dalam arti pluralisme hukum menyoroti kenyataan adanya hukum‐hukum lain selain negara yang juga memiliki pengaruh yang sama di tengah masyarakat bahkan untuk kasus hukum adat pengaruhnya jauh lebih besar dari hukum negara. Kedua, memberi ruang hidup lebih besar bagi berlangsungnya hukum‐hukum rakyat. Pluralisme hukum menjawab kebutuhan rakyat lokal untuk menjalankan hukumnya sendiri tanpa harus menggantungkan pada hukum‐hukum negara. Oleh sebab itu, negara harus memahami dan memberikan ruang lebih luas keragaman mekanisme hukum lokal dalam mengatasi masalah mereka sendiri, termasuk tegas untuk menghargai eksistensinya sebagai hukum yang berlaku di tengah masyarakat.

IV. Progresifitas Pluralisme Hukum: Tantangan Bagi Gerakan Sosial

Sengaja untuk menempatkan pemikiran progresifitas pluralisme hukum di bagian akhir dalam tulisan ini, karena semangat pemajuan untuk mengembangkan kajian‐ kajian hukum yang tidak melulu berbasiskan pada sumber utamanya dari (hukum) negara. Ada kesesatan di lapangan kajian hukum, bahwa progresifitas selama ini dilekatkan dengan urusan modernisasi, mengikuti perkembangan dan menyesuaikan dengan selera ‘pasar’. Dalam kajian filsafat hukum, bahwa hukum itu memiliki tiga sisi yang saling berhubungan erat, dan menjadi bagian hukum itu sendiri, yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatannya.

Mementingkan hanya salah satu dari ketiga sisi tersebut, maka hukum tersebut dirasakan kurang lengkap dan tidak akan pernah maksimal menjalankan fungsinya. Kajian pluralisme hukum pun demikian, ia harus memotret eksistensi keragaman hukum lokal dari tiga tinjauan tersebut. Resiko yang paling mungkin terjadi ketika menerapkan analisis perspektif tiga sisi hukum tersebut, justru kita akan mendapati bahwa konsep‐konsep kepastian, keadilan dan kemanfaatan itu sendiri pun juga plural.

Di sinilah peliknya pendekatan pluralisme hukum, dimana ia senantiasa menggunakan analisis terhadap sistem (bisa sistem sosial budaya, sistem ekonomi, sistem politik, dll.) yang lebih mendalam terlebih dahulu, untuk memahami bagaimana hukum lokal terbentuk dan bisa berjalan di lapangan, atau juga melihat bagaimana resistensinya terhadap hukum‐hukum di luar sistem mereka.

Pluralisme hukum kritis, sesungguhnya tidak sekedar mencermati kekuasaan dominan dari hukum negara, baik untuk mengatasi maupun untuk melawannya. Ia juga tidak terlampau dangkal untuk menyimpulkan bahwa negara dan aparatusnya sebagai pusat, sementara di seberang, sebagai wilayah pinggiran atau yang bukan pusat diatur dan dinilai sesuai dengannya. Ia juga tidak terjebak pada pemahaman ‘tunggal’ dalam setiap wilayah sosial, bahkan pluralisme hukum yang kuat pun menuntut agar setiap pranata hukum menentukan wilayahnya dan menyatakan supremasinya.13

Progresivitas pluralisme hukum yang dimaksudkan di sini adalah kecerdasan dalam mencermati kekuasaan dominan dari hukum‐hukum negara maupun non negara, atau juga analisis terhadap hukum non‐negara yang difasilitasi negara, baik dalam soal mengatasi, melawan atau justru memanfaatkannya di dalam prosesnya. Ia tidak lagi sekedar membaca relasi pertarungan antara pusat dan daerah/lokal, melainkan pula mengkaji peran transnasional yang semakin akrab dalam arus tata dunia sekarang. Ia diharapkan bisa lebih mendalami situasi dan subyek hukum yang dipandang memiliki keragaman identitas‐identitas. Kajian ini menyadari adanya persoalan dalam penerapan hukum dan wacana hukum mainstream, sehingga bahaya‐bahaya yang ditimbulkannya akan merusak sistem sosial budaya lokal. Meskipun demikian, bahaya‐bahaya terjadi pula ketika pluralisme hukum diterapkan dengan memandang berdasarkan pluralitas kuantitatifnya belaka.

Progresifitas pluralisme hukum diharapkan pula tidak sekedar memperbincangkan realitas keragaman, tetapi bagaimana menghargai keragaman yang terjadi di masyarakat sebagai upaya agar bisa lebih bersinergi mendorong perubahan sosial yang lebih adil. Dari sisi ini, bagaimana kita memandang pluralisme hukum dalam kaitannya dengan transformasi sosial (perubahan sosial yang lebih adil)?

Dalam konteks penerapan hukum‐hukum lokal, perluasan kajian pluralisme hukum perlu diangkat kembali atau direvitalisasi dalam konteks tata dunia global sekarang ini. Ada beberapa argumentasi yang penting dipahami untuk menjelaskan pertanyaan tersebut: pertama, bahwa hukum yang dibentuk sekarang lebih melayani pada kebutuhan pasar (liberalisasi pasar) dibandingkan upaya

13 M. King (1993) dalam Kleinhans, Martha-Marie & Roderick A. MacDonald, loc cit.

proteksi terhadap komunitas lokal, yang seringkali dinyatakan menghambat investasi atau mengganggu iklim pengembangan modal dunia usaha. Sehingga tidak mengherankan paradigma pembangunan yang liberal dirasuki wacana hukum mainstream yang merespon liberalisasi pasar pula, sehingga segala bentuk prioritas atau pembatasan, dianggap sebagai ancaman oleh kalangan yang pro‐ pasar. Hukum didorong ke arah fasilitasi kepentingan global yang menderegulasi atau membebaskan pasar bermain, sementara fungsi‐fungsi publik yang menjadi tanggung jawab negara sedikit demi sedikit dilemahkan dan dipangkas oleh kekuatan modal besar.

Kedua, ada pertarungan keras yang terjadi antara kekuatan pasar yang mengontrol peran negara di satu sisi, dengan peran negara secara politik untuk menyejahterakan masyarakat. Nampaknya, kekuatan pasar yang lintas negara dan bekerja secara rapi di level internasional, disertai arus besar paradigma tata dunia yang menghendaki adanya perluasan kerjasama negara dan lembaga multinasional (pengusaha maupun lembaga keuangan), menempatkan aktor‐aktor kekuasaan politik ‘berselingkuh’ dengan permainan pasar yang lebih menyediakan ruang gerak ekonomi. Oleh sebabnya, tidak terlampau mengherankan bahwa peran negara yang ditampilkan oleh para elit politik tidak cukup peka dan resisten atas jebakan‐jebakan pasar.

Sekali lagi, contoh kasus privatisasi sektor air yang bermuara pada sistem jaminan komersialisasi air melalui Undang‐Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, adalah potret bekerjanya relasi‐relasi kekuasaan dan hukum‐ hukum yang menfasilitasi berlangsungnya relasi tersebut. Dalam konteks ini, tentu hukum dan pertarungan yang sedang terjadi sama sekali tidak sedang memperbincangkan bagaimana jaminan terhadap sistem (hukum) lokal yang telah bekerja selama puluhan atau ratusan tahun, dan bagaimana hukum tersebut justru akan menghilangkan peran sosial dalam bentuk pengikisan kedaulatan rakyat yang paling sederhana sekalipun. Destruksi liberalisasi hukum dengan cirinya yang pro‐pasar disertai dukungan politik kekuasaan negara, telah mengancam situasi hukum dari dua sisi, secara substansial produk hukum dan struktur birokrasi yang membentuk dan menjalankan hukum. Di tengah situasi yang demikian, dimana produk dan struktur negara telah memposisikan diri dalam wilayah yang menciptakan konflik dengan hukum rakyat, maka berbagai bentuk penegasian hukum dan sistem sosial lokal, cepat atau lambat, akan melahirkan generasi konflik yang kompleks (laten) di masa mendatang.

Oleh sebab itu, tujuan mengangkat kembali kajian pluralisme hukum adalah untuk mendorong ke arah transformasi keadilan masyarakat, terutama bagi komunitas lokal (masyarakat adat, petani, masyarakat nelayan atau pesisir) yang masih memegang teguh sistem sosial mereka secara turun temurun semakin mendesak

dilakukan. Sistem sosial yang masih dipertahankan, bisa dilihat sebagaimana dalam sistem pengelolaan irigasi lokal, seperti kelembagaan Mitra Caik di Sunda, kelembagaan Sambong di Madiun, peran Jogo Tirto di pedesaan Jawa, peran Subak di Bali, dan lain sebagainya, yang masih sangat kuat menjaga hubungan antara sumberdaya alam air dengan lingkungan sosialnya. Analisis pluralisme hukum terhadap hasil juga diperlukan sebagai indikator bagaimana menempatkannya dalam gerakan sosial, dalam arti bahwa analisis yang mempergunakan pendekatan pluralisme hukum tidak sekedar menentang pranata normatif hukum negara sebagai tolok ukur normatifitas. Tetapi lebih jauh, pendekatan itu dipergunakan dalam rangka membangunan tatanan sosial yang lebih berkeadilan, berbasis pada hak‐hak dan kehidupan komunitas lokal dalam mempertahankan eksistensinya.

Dengan indikator hasil dalam kerangka analisis pluralisme hukum yang demikian, maka tidak dikenal lagi model ketegangan menghadapkan hukum lokal dengan hukum negara, karena bagaimanapun komunitas lokal hidup dalam wilayah negara tertentu yang tidak mungkin menghindarkan relasi‐relasi formal maupun non‐formal dengan instrumentasi ketatanegaraan. Justru dengan kerangka analisis pluralisme hukum yang mendalam, segala bentuk proses legislasi atau pembentukan perundang‐undangan (hukum formal negara) bisa didorong agar lebih bisa menghargai, melindungi dan memenuhi hak‐hak komunitas lokal. Termasuk kesediaan dan jaminan negara untuk memberikan ruang alternatif menyelesaikan secara lebih efektif konflik‐konflik dengan mekanisme alternatif yang dimiliki oleh komunitas lokal itu sendiri, seperti mengangkat dan mengfungsikan kembali peradilan‐peradilan adat atau mekanisme lokal lainnya yang dahulu telah dihancurkan dengan sistem hukum negara.

Gerakan sosial dalam konteks di atas, kini harus mengembangkan tradisi berfikir kritis atas segala bentuk perundang‐undangan yang menegasikan hukum dan hak‐ hak komunitas lokal, baik di dataran advokasi kebijakan, litigasi atau pembelaan komunitas di peradilan‐peradilan negara, memberikan pelatihan atau pendidikan hukum kritis, mengorganisir atau menyadarkan arti penting pendekatan pluralisme hukum sebagai cara yang lebih komprehensif menjembatani persoalan‐ persoalan yang tidak bisa sekedar dipecahkan oleh hukum negara. Tentu, model gerakan sosial yang demikian memiliki rambu‐rambu khusus yang sangat penting dan harus hati‐hati dalam melakukannya. Rambu‐rambu yang harus dipahami dalam konteks ini adalah bahwa upaya pembaruan, pembelaan, dan pengembangan analisis dan gerakan harus sungguh‐sungguh disandarkan pada kebutuhan nyata komunitas lokal, serta melibatkan secara langsung partisipasi komunitas untuk melakukannya. Dalam gerakan sosial yang demikian, sama sekali tidak memperkenankan pandangan dominan secara subyektif dilakukan oleh seseorang tanpa mendasarkan pada kebutuhan komunitas lokal, sekalipun ia

merupakan seorang sarjana atau ahli fikir. Karena konsistensi dalam mengembangkan proses partisipasi (termasuk dalam kerangka analisis dan penentuan strategi aksinya), dirumuskan dan ditentukan secara bersama‐sama.

Dus, dalam posisi yang demikian pula, hukum rakyat atau lokal harus diperkuat dalam konteks untuk mentransformasikan nilai‐nilai keadilan dan hak‐hak asasi manusia yang lebih luas, termasuk mengupayakan pelestarian alam sebagai bagian hidup komunitas lokal. Bekerjanya pluralisme hukum lokal dan peranan kelembagaan yang mempertahankan sistem sosial politik lokal, tidak perlu dibawa dalam perdebatan etnosentrisme. Karena perdebatan tersebut justru melahirkan kekuasaan otoritarian (baru) di level lokal dan menceburkan diri dalam kubangan positivisme hukum lokal yang justru dikhawatirkan menghilangkan esensi demokratisasi dan keadilan substantif yang hendak dicapai. Tetapi dengan progresifitas pluralisme hukum yang berbasiskan pada tujuan transformatif nilai‐ nilai keadilan dan hak‐hak asasi manusia, maka perannya menjadi sangat penting dalam pengembangan kajian dan gerakan sosial hukum yang lebih luas. Di sinilah momentum peran dan tantangan bagi pengembangan kajian pluralisme hukum dalam gerakan sosial yang berada di tengah kuatnya tekanan hukum (negara) atau wacana hukum mainstream yang bergeser orientasinya pada kepentingan liberalisasi pasar.

Pragmatisme di masyarakat

Kebanyakan masyarakat mempunyai pemikiran bahwa menyekolahkan anak agar nanti jika besar mendapat pekerjaan yang layak. Tentu pemikiran itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Kebanyakan masyarakat, terutama masyarakat bawah masih mempunyai permasalahan besar yaitu kesejahteraan hidup yang diukur dengan uang.

Sebuah realitas ketika para sarjana yang telah menempuh pendidikan semenjak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi masih banyak yang menganggur. Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi jika hasilnya pengangguran? Mendingan uangnya buat hidup atau modal usaha agar mendapatkan uang. Sekali lagi pemikiran masyarakat seperti ini tidak bisa disalahkan.

Tujuan Pendidikan

Undang-undang Dasar di negara ini telah menetapkan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :

(1) Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” (2) Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” (UUD 1945 versi amandemen)

Sebagai penjabarannya juga dijelaskan sebagai berikut :

Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sisdiknas)

Mengacu pada pengertian pendidikan di negara kita, tidak ada satu pun kata ‘kerja’ yang tercantum di dalamnya. Lalu mengapa kita meributkan relevansi antara kurikulum pendidikan dengan dunia kerja?

Ketika ada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itupun hanya sedikit mengarahkan minat belajar para siswa, bukan untuk secara nyata menyiapkan mereka langsung masuk ke dunia kerja. Ketika sekolah-sekolah kita dituntut untuk menjamin lulusannya mendapat pekerjaan, tentu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional kita. Pendidikan formal kita cukup memberikan bekal agar menjadi insan sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan pendidikan nasional di atas.

Pola Rekrutmen Tenaga Kerja

Pola rekrutmen tenaga kerja yang menyertakan program training di dalamnya sudah cukup menjawab akan tenaga kerja yang dibutuhkan. Potensi akademik dan softskill yang telah didapat selama sekolah akan sangat menunjang saat mereka terjun di dunia kerja. Itulah modal utama bagi mereka. Mengapa dunia kerja menerapkan tes psikotes? Karena mereka ingin mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Masalah skill untuk bekerja adalah soal lain. Hal tersebut dapat ditempuh melalui pola rekrutmen di dunia kerja. Dunia kerja punya kewajiban dan sekaligus menjadi kebutuhan mereka untuk menyiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia.

Dengan demikian seharusnya tidak ada lagi pragmatisme menempuh pendidikan yang diidentikan dengan mengejar materi. Dunia pendidikan formal berperan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana dimaksudkan oleh tujuan pendidikan nasional. Dunia kerja berperan menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki skill yang diperlukan sesuai lapangan kerja masing-masing.

 

KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN PROPINSI BENGKULU

    1. LATAR BELAKANG
      1. Hutan sebagai anugerah Tuhan YME hendaknya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat secara berkeadilandan ber kelanjutan.
      2. Berkeadilan dimaksudkan tidak hanya untuk sekelompok kecil masyarakat tertentu, melainkan untuk masyarakat banyak dengan kesempatan dan pelayanan yang adil dan bijaksana.
      3. Berkelanjutan dimaksudkan agar tidak hanya dinikmati oleh generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang.
      4. Hutan di Propinsi Bengkulu dengan luas 920.964,00 ha atau 46,54% dari luas daratan Propinsi Bengkulu (1.978.870,00 ha), hendaknya juga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkeadilan dan berkelanjutan.
      5. Namun demikian harus diakui bahwa peranan hutan dalan mensejahterakan masyarakat Propinsi Bengkulu khususnya bagi masyarakat di sekitar hutan masih belum seperti yang diharapkan.
      6. Potensi hutan di Propinsi Bengkulu tidak hanya berupa kayu, tetapi juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, antara lain berupa: obyek wisata alam , rotan, damar, air bersih, flora dan fauna. Pada saat ini, hasil hutan diproduksi utamanya baru berupa kayu, sedangkan hasil hutan bukan kayu terbatas pada rotan dan damar.
      7. Permasalahan utama dalam rangka pengelolaan hutan adalah bagaimana keberadaaan hutan dapat dirasakan langsung bagaimana manfaatnya oleh masyarakat disekitarnya sehingga masyarakat secara sukarela dan sungguh-sungguh turut bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan yang bersangkutan.
      8. Di bidang perkebunan (perkebunan besar) telah dialokasikan areal perkebunan (HGU dan ijin lokasi) seluas 257.078 ha, namun demikian baru diusahakan (ditanam) seluas 79.508 ha atau 30,93%, sedangkan sisanya belum/tidak diusahakan.
      9. Kegiatan usaha perkebunan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat disekitarnya dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah, baik langsung maupun tidak langsung.
      10. Kehadiran pengusaha perkebunan, hendaknya tidak menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat setempat, tetapi diharapkan terjalin hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan.
    2. MAKSUD DAN TUJUAN

Paparan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang pengusahaan hutan dan kebun di Propinsi Bengkulu, dengan tujuan untuk:

      1. Mendapat masukan dan arahan dalam mengatasi permasalahan yang ada.
      2. Merumuskan kebijakan untuk pengelolaan hutan dan kebun dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah Bengkulu, dengan tetap memperhatikan kepentingan generasi mendatang dan kepentingan nasional, serta kelestarian lingkungan.
    1. RUANG LINGKUP

Uraian dalam makalah ini terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan pengusahaan hutan dan kebun pada awal tahun 2000, dengan menitikberatkan pada:

      1. Keadaan dan permasalahan pengusahaan hutan, khususnya dihutan produksi, Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan kebutuhan bahan baku kayu untuk industri perkayuan.
      2. Keadaan dan permasalahan usaha perkebunan, khususnya perkebunan besar.
      3. Keadaan dan permasalahan pemanfaatan areal hutan untuk kepentingan lain, khususnya untuk pertambangan dan PLTA.
      4. Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan dalam pengusahaan hutan dan kebun.

  1. KEADAAN UMUM
    1. LUAS DAN POTENSI HUTAN
      1. Luas Kawasan Hutan

Luas hutan di Propinsi Bengkulu berdasarkan Keputusan Gubernur No. 305 Tahun 1998 tanggal 14 Juli 1998 yang diperkuat dengan Surat Keputusan Nomor 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 adalah 920.964,00 ha atau 46,54% dari luas daratan yang terdiri dari:

        • Hutan Konservasi : 451.747 Ha (49,05%)
        • Hutan Lindung : 252.042 Ha (27,37%)
        • Hutan Produksi : 217.175 Ha (23,58%)

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa areal hutan yang berupa kawasan lindung (Hutan Konservasi dan Hutan Lindung) mencapai 76,42% sedangkan kawasan budidaya (Hutan Produksi) hanya 23,58%.

Luas hutan tersebut terletak di 3 Kabupaten dan 1 Kota dengan rincian sebagai berikut:

No.

Kab/Kota

Luas Hutan (Ha)

Ht Konservasi

Ht Lindung

Ht Produksi

Jumlah

1

Bengkulu Utara

226.436,06

60.856,00

150.592,56

437.884,62

2

Bengkulu Selatan

70.189,42

138.588,00

66.582,44

275.359,86

3

Rejang Lebong

153.577,32

52.598,00

206.175,32

4

Kota Bengkulu

1.544,30

1.544,30

Jumlah

451.747,10

252.042,00

217.175,00

920.964,10

 

 

 

 

 

 

Berdasarkan data di atas nampak bahwa hanya Bengkulu Utara dan Bengkulu Selatan tedapat Hutan Produksi, sedangkan di Rejang Lebong dan Kota Bengkulu seluruh hutannya berupa Kawasan Lindung.

      1. Potensi Hutan

Dalam kawasan Hutan Produksi potensi kayu bulat dalam keadaan normal dapat mencapai 1 m3/ha/tahun atau dapat diproduksi sekitar 217.175 m3/tahun. Namun demikian mengingat tidak seluruh Hutan Produksi berupa hutan, maka produksi kayu yang dapat dihasilkan dari Hutan Produksi di Propinsi Bengkulu hanya mencapai rata-rata 100.000 m3/tahun (1993 s/d 1997), sedangkan tahun 1997 s/d 2000 hanya mencapai 4.000 m3 – 40.000 m3/tahun.

Potensi lain yang terdapat dalam kawasan hutan baik Hutan Produksi, Hutan Lindung maupun Hutan Konservasi antara lain berupa rotan dan damar. Potensi rotan dan damar terdapat di 3 Kabupaten dengan produksi rata-rata rotan 2.000 ton/tahun dan damar 1.750 ton/tahun.

Adapun potensi jasa lingkungan yang terdapat dalam kawasan hutan sangat potensial untuk dikembangkan antara lain berupa obyek wisata alam (air terjun, sumber air panas, danau, pantai, kawah) dan sumber air bersih.

    1. PENGUSAHAAN HUTAN
      1. Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

Pada Saat ini HPH yang ada di Propinsi Bengkulu hanya ada 2 perusahaan yaitu PT Inhutani dan Land Grant College Universitas Bengkulu.

HPH atas nama PT Inhutani V terdiri dari 3 unit dengan rincian sebagai berikut:

        1. Eks Areal PT Bengkulu Raya Timber di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan luas 37.774 Ha dicadangkan untuk berpatungan dengan PT Bengkulu Utama Raya Timber, Koperasi dan BUMD dengan batas akhir penyelesaian pada Agustus 1999. Namun demikian sampai saat ini perusahaan patungan tersebut belum terbentuk. Selanjutnya Pemerintah Daerah telah merkomendasikan areal tersebut untuk dikelola oleh PT Hasil Hutani Makmur dan BUMD (PT Bimex) tanpa mengikutsertakan PT Inhutani V. PT Hasil Hutani Makmur merupakan badan usaha yang dibentuk oleh Koperasi Pondok Pesantren Al Qur’aniyah bersama Yayasan Beasiswa Bengkulu dan PT Karya Usaha Makmur Sejahtera.
        2. Eks Areal PT Maju Jaya Raya Timber di Kabupaten Bengkulu Utara dengan luas 31.518 Ha dicadangkan untuk berpatungan dengan PT Sumaru Kencana, Koperasi, BUMD (PT Bimex) dengan batas akhir penyelesaian terbentuknya perusahaan patungan pada bulan Agustus 2001. Pada saat ini sambil memproses pembentukan perusahaan patungan telah dilakukan persiapan pengusahaan hutan dengan diawali pembuatan Bagan Kerja dan sosialisasi di lapangan.
        3. Eks Areal PT Sari Balok di Kabupaten Bengkulu Utara dengan luas 13.630 Ha. Pada saat ini areal tersebut telah direkomendasikan oleh Gubernur untuk HPH skala kecil atas nama PT Tabot Krida Kencana, PT Alno Mandiri dan PT Serambi Andalas.

Adapun HPH atas nama Universitas Bengkulu telah menjalin kerjasama dengan PT Persada Karunia Alam dalam pengelolaannya. Pada saat ini sedang disusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan.

Disamping itu terhadap areal eks PT Dirgahayu Rimba sebagian telah direkomendasi oleh Gubernur untuk HPH skala kecil atas nama PT Mitra Ipuh Mandiri.

      1. Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK)

Pada tahun 1999/2000 terdapat IPK sebanyak 7 ijin dengan target luas sekitar 5.600 ha dan target produksi sebanyak 114.000 m3 dengan realisasi 31.328 m3. Adapun rincian IPK tersebut sebagai berikut:

No

Perusahaan

Target Luas (ha)

Target Produksi (m3)

Realisasi Produksi (m3)

Keterangan

1

PT Bara Indah Lestari

303

13.650

4.226

Areal tambang di B/S

2

PT Citra Maju Bersama

30

135

84

Areal Trans. di B/U

3

PT Inhutani V

390

45.210

17.272

Areal kebun di B/U

4

PT Inhutani V

225

7.200

0

Areal trans. di B/S

5

PT Mas Marandika

800

39.368

9.746

Areal kebun di B/S

6

PRIMKOPAD Bengkulu

63

497

0

Jalan TMD skala besar di B/S

7

PT Arjantara Griya Mandiri

605

7.820

0

Lahan PROKIMAL di B/S

 

 

 

 

 

 

      1. Kebutuhan Bahan Baku Industri Hasil Hutan

Industri hasil hutan yang ada di Propinsi Bengkulu meliputi industri kayu dan rotan.

Industri kayu memerlukan bahan baku kayu bulat sebanyak 120.000 m3/tahun, sedangkan industri rotan 70 ton/tahun. Untuk industri rotan kebutuhan bahan baku dapat dipenuhi dari Propinsi Bengkulu, tetapi untuk industri kayu tidak dapat dipenuhi dari produksi legal (HPH dan IPK).

      1. Hasil Hutan Bukan Kayu
        1. Rotan
          Pemungutan rotan dari kawasan hutan menggunakan perijinan Hak Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (HP-HHBK) yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Propinsi. Pada saat ini terdapat HPHH Rotan sebanyak 10 ijin dan target produksi 1.574 ton dengan realisasi 1.095 ton. Produksi rotan tersebut sebagian besar dipasarkan ke luar propinsi dan sebagian kecil diolah di dalam propinsi.
        2. Damar
          Pemungutan damar dari kawasan hutan juga menggunakan perijinan HPHH Damar yang diterbitkan Oleh Dinas Kehutanan Propinsi. Pada saat ini terdapat HPHH Damar 12 ijin dan target produksi 3.038 ton dengan realisasi 819 ton. Produksi damar tersebut seluruhnya dipasarkan keluar propinsi.
    1. PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN UNTUK KEPENTINGAN LAIN
      1. Pertambangan

Terdapat 4 lokasi kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pertambangan batu bara dengan rincian sebagai berikut:

        1. PT Bara Indah Lestari dengan luas 1.000 ha di Kab. Bengkulu Selatan
        2. PT Bukit Bara Utama dengan luas 937 ha di Kab. Bengkulu Selatan
        3. PT Kilisuci Paramita dengan luas 373 ha di Kab. Bengkulu Selatan
        4. PT Danau Mas Hitam dengan luas 285 ha di Kab. Bengkulu Utara
        5. PT Bukit Sunur dengan luas 700 ha di Kab. Bengkulu Utara
      1. PLTA Musi Ujan Mas

Kawasan hutan di Rejang Lebong seluas 86,23 ha dipinjam pakai oleh PLTA Musi Ujan Mas untuk kepentingan bendungan, saran prasarana dan daerah tangkapan air.

      1. Jaringan Transmisi Listrik

Terdapat 37,5 ha di Hutan Lindung Bukit Daun dan 60 ha Cagar Alam Danau Tes yang digunakan untuk jaringan transmisi listrik.

      1. PERUMTEL

Terdapat 24 ha areal Hutan Lindung Bukit Daun yang dipergunakan oleh PERUMTEL untuk pembangunan staiun relay.

      1. Jalan

Terdapat 13,2 ha Hutan Produksi Terbatas Bukit Badas dan 11,7 ha di Taman Buru Semidang Bukit Kabu yang dipergunakan oleh PT Bara Indah Lestari sebagai jalan angkutan batu bara.

    1. AREAL PERKEBUNAN

Areal perkebunan dikelompokkan berdasarkan komoditas, kepemilikan usaha dan klasifikasi.

      1. Menurut Komoditas

Komoditas perkebunan yang dominan di Propinsi Bengkulu adalah kopi, kelapa sawit, karet dan kelapa, sedangkan komoditas lainnya antara lain kayu manis, kakao, jahe dan aren. Rincian luas dan produksi 1999 menurut komoditas perkebunan seperti pada tabel berikut:

No

Komoditas

Luas (ha)

%

Produksi (ton)

1

Kopi

85.912

30,30

40.502

2

Karet

92.405

32,59

36.342

3

Kelapa Sawit

42.152

14,86

46.165

4

Kelapa

25.801

9,10

11.448

5

Kayu manis, kakao, jahe, dll

37.257

13,15

12.946

 

 

 

 

 

      1. Menurut Kepemilikan Usaha (Pola Usaha)

Luas areal perkebunan berdasarkan pola usaha terdiri dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar seluas 283.527 ha dengan rincian masing-masing:

        • Perkebunan Besar seluas 79.506 ha
        • Perkebunan Rakyat seluas 204.021 ha
      1. Menurut Klasifikasi Tingkat Pengelolaan

Berdasarkan hasil klasifikasi terhadap 41 perkebunan besar pada tahun 1997/1998 terdapat 4 kategori kelas kebun, yaitu kelas II, III, IV dan kelas V. Aspek-aspek yang dinilai dalam klasifikasi kebun yaitu aspek manajemen, aspek fisik kebun, pengolahan/pemasaran dan lingkungan.

Rincian kelas kebun di Propinsi Bengkulu dapat dilihat dalam tabel berikut:

No

Kelas Kebun

Jumlah Perusahaan

Luas (ha)

1

Kelas I

9

49.882

2

Kelas II

10

23.623

3

Kelas III

9

22.489

4

Kelas IV

13

27.595

Jumlah

41

123.589

 

 

 

 

Kebun-kebun kelas IV dan V seluas 50.084 ha termasuk kelas kebun terlantar. 7 perusahaan kelas V seluas 15.942 Ha telah diusulkan untuk dicabut/dibatalkan HGU-nya, sedangkan 17 kebun kelas IV dan V lainnya seluas 34.142 ha masih dalam tahap pembinaan.

    1. INDUSTRI PERKEBUNAN

Industri pengolahan hasil perkebunan yang telah berkembang di Propinsi Bengkulu adalah Industri Pengolahan Karet, Kelapa Sawit, Teh dan Kopi.

      1. Industri Pengolahan Karet

Industri pengolahan karet yang sudah ada di Propinsi Bengkulu berada di Kabupaten Bengkulu Utara sebanyak 4 unit dan Bengkulu Selatan 1 unit dengan total kapasitas terpasang 55.400 ton/tahun dan kapasitas terpakai 50.800 ton/tahun dengan rincian sebagai berikut:

No.

Nama Perusahaan

Kapasitas (ton/th)

Lokasi

Jenis Produksi

Terpasang

Terpakai

1

PTPN VII

10.400

9.000

Suka Raja, B/S

SIR 20,5

2

PT Agro Muko

3.000

3.000

Muko-Muko Utara, B/U

SIR 5

3

PT Air Muring

6.000

2.300

Putri Hijau, B/U

SIR 20, Compo

4

PTPN VII

12.000

2.000

Ketahun, B/U

SIR 20

5

PT Pamor Ganda

12. 000

2.500

Ketahun, B/U

SIR 20

6

PT Bukit Angkasa Makmur

12.000

12.000

Talang Empat, B/U

SIR 20

Jumlah

55.400

30.800

 

 

 

 

 

 

      1. Industri Pengolahan Kelapa Sawit

Industri pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan CPO (Crude Palm Oil) yang sudah beroperasi di Propinsi Bengkulu berada di Kabupaten Bengkulu Utara sebanyak 4 unit dan Bengkulu Selatan 2 unit dengan total kapasitas terpasang 210 ton TBS/jam dengan pemanfaatan rata-rata 37,41%. Rincian perusahaan pengolahan kelapa sawit seperti table berikut:

No.

Nama Perusahaan

Kapasitas

Lokasi

Terpasang (ton/jam)

Terpakai (%)

1

PT Agri Andalas

30

30,40

Sukaraja, B/S

2

PTPN VII

30

19,45

Talo/Pino, B/S

3

PT Agro Muko

60

69,50

Muko-muko Utara, B/U

4

PT Daria Dharma Pratama

30

34,50

Muko-muko Selatan, B/U

5

PT Agrisinal

30

41,60

Ketahun, B/U

6

PT Bio Nusantara Teknologi

30

28,80

Pondok Kelapa, B/U

Jumlah

210

 

 

 

 

 

      1. Industri Pengolahan Kopi

Pada saat ini terdapat 2 unit industri pengolahan kopi yang berlokasi di Kabupaten Rejang Lebong, namun 1 unit tidak aktif yaitu PT Kepahyang Indah.

No.

Nama Perusahaan

Kapasitas (Ton/Thn)

Lokasi

Ket.

Terpasang

Terpakai

1

PT Indo Arabica Mangkurejo

636

453

Lebong Selatan R/L

Biji kopi Grade IV

2

PT Kepahiang Indah

105

0

P. Ulak Tanding, R/L

Tidak aktif

 

 

 

 

 

 

      1. Industri Teh

Pada saat ini terdapat 1 unit panrik pengolahan teh, yaitu PT Sarana Mandiri Mukti di Kepahyang, Rejang Lebong dengan kapasitas terpasang 1.520 ton/tahun yang memproduk teh hitam. Disamping itu terdapat 1 unit pengolahan teh hijau yang berskala kecil, yaitu PT Tri Sula Ulung Mega Surya.

  1. PERMASALAHAN
    1. BIDANG KEHUTANAN
      1. Umum
        1. Sebagian Besar Kawasan Hutan Berupa Kawasan Lindung
          Sekitar 76% dari luas hutan Propinsi Bungkulu berupa hutan konservasi dan hutan lindung yang tersebar di 3 kabupaten dan 1 kota. Bahkan untuk Kabupaten Rejang Lebong dan Kota Bengkulu seluruh kawasan hutan berupa kawasan lindung. Dengan demikian pengelolaan kawasan hutan di Propinsi Bengkulu memerlukan strategi dan tehnik khusus agar kawasan hutan yang berupa hutan konservasi dan hutan lindung dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan Pemerintah Daerah dengan tidak mengabaikan fungsi hutannya.
        2. Perambahan Kawasan Hutan
          Perambahan kawasan hutan tidak hanya terjadi di hutan produksi tetapi juga terjadi di hutan lindung maupun hutan konservasi. Kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dirambah masyarakat mencapai sekitar 50% dari luas kawasan, sedangkan di hutan konservasi tidak mencapai 20%. Bentuk perambahan di Kabupaten Bengkulu Utara dan Rejang Lebong pada umumnya untuk kebun kopi, sedangkan di Bengkulu Selatan pada umumnya untuk kebun karet.

Masalah perambahan kawasan hutan disamping menimbulkan masalah ekologis juga mempunyai potensi timbulnya masalah sosial, yaitu kecemburuan penduduk setempat terhadap penduduk pendatang yang melakukan perambahan.

        1. Penebangan Ilegal
          Terdapat kecenderungan peningkatan penebangan ilegal yang didorong oleh berbagai sebab antara lain : harga kayu ilegal lebih murah dari pada kayu legal, ketidakseimbangan bahan baku kayu legal dengan kebutuhan industri, lemahnya penegakan hukum (law enforcement), masyarakat belum dilibatkan secara maksimal dalam pengamanan dan pengelolaan hutan.
        2. Kesenjangan Kebutuhan Kayu Bulat bagi Industri Perkayuan
          Industri perkayuan di Propinsi Bengkulu memerlukan bahan baku kayu sekitar 120.000 m3 kayu bulat per tahun, sedangkan produksi kayu bulat tahun 1999/2000 dari HPH dan IPK hanya mencapai 39.500 m3. Padahal produksi dari HPH dan IPK tersebut sebagian besar dipasarkan ke luar Propinsi Bengkulu karena daya beli industri perkayuan di Propinsi Bengkulu tidak mampu menjangkau harga jual kayu produksi HPH dan IPK (mekanis).

Dengan demikian terjadi kekurangan pasokan bahan baku kayu bulat (legal) untuk industri perkayuan lokal, sehingga cenderung dipenuhi dari penjualan kayu hasil penebangan ilegal.

      1. Khusus
        1. Gugatan Peradilan Tata Usaha Negara oleh PT Maju Jaya Raya Tb

PT Maju Jaya Raya Timber (MJRT) semula sebagai pemegang HPH yang berakhir pada bulan Agustus 1994. Selanjutnya areal tersebut dikelola oleh PT Inhutani V yang berpatungan dengan PT MJRT, Koperasi dan BUMD dengan jangka waktu penyelesaian patungan sampai dengan 1996 yang kemudian diperpanjang sampai dengan Agustus 1998.

Dengan terbitnya surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 1175/MENHUTBUN_IV/1999 tanggal 27 Agustus 1999 antara lain membatalkan kerjasama PT MJRT tersebut dan mengganti dengan partner baru PT Sumaru Kencana sesuai rekomendasi Gubernur Bengkulu No. 005/092/Phb/IV/99 tanggal 24 April 1999 dan No 055/2752.B.12 tanggal 2 Juni 1999.

Atas pembatalan tersebut pada saat ini PT MJRT sedang menggugat Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Dirut PT Inhutani V dan Gubernur Bengkulu melalui Pengadilan TUN Propinsi Bengkulu. Terhadap gugatan tersebut telah ada 2 kali putusan sela, yaitu:

          • Tanggal 20 Oktober 1999 dengan isi penetapan antara lain : menyatakan bahwa dalam areal Eks PT MJRT tersebut tidak boleh ada kegiatan oleh siapapun.
          • Tanggal 14 Pebruari 2000 dengan isi penetapan antara lain mencabut putusan sela tertanggal 20 Oktober 1999 sehingga PT Inhutani V bersama partnernya yang baru dapat memulai kegiatan.

Dengan adanya putusan sela tanggal 14 Pebruari 2000 maka PT Inhutani V bersama PT Sumaru Kencana dan instansi terkait telah melakukan sosialisasi kepada pejabat dan masyarakat setempat pada tanggal 24 Pebruari 2000 di Medan Jaya, Ipuh.

        1. Land Grant College Universiti Bengkulu

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 870/Kpts-VI/1999 bulan Oktober 1999 telah memberikan ijin sementara HPH dalam rangka LGC kepada Universitas Bengkulu. Sampai saat ini pihak UNIB belum ada aktivitas nyata di lapangan Karena bersama partnernya (PT Persada Karunia Alam) masih menyelesaikan Dokumen AMDAL, survey dan inventarisasi. Dengan adanya aktivitas di lapangan menyebabkan semakin luasnya perambahan dan penebangan ilegal di kawasan tersebut.

        1. Perusahaan Patungan PT Inhutani V dengan PT BRT

Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan surat No. 881/MENHUT-IV/1997 tanggal 6 Agustus 1997 memberikan persetujuan prinsip pembentukan perusahaan patungan antara PT Inhutani V, PT BRT (Bengkulu Utama Raya Timber), BUMD, KUD setempat, Koperasi Karyawan, Perusahaan Patungan dan Masyarakat Adat dengan jangka waktu penyelesaian sampai dengan 6 Agustus 1999. Ternyata sampai batas waktu yang ditentukan tersebut perusahaan patungan belum terbentuk, sehingga persetujuan tersebut dapat dinyatakan tidak berlaku.

Gubernur Bengkulu dengan surat No. 522/5626/KBPMD tanggal 25 Nopember 1999 memberikan rekomendasi kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan untuk memberikan HPH eks PT BRT kepada PT Hasil Hutani Makmur yang bekerja sama dengan BUMD dan tidak merekomendasikan BUMN PT Inhutani V. Sampai saat ini belum ada jawaban dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan atas rekomendasi tersebut. Dengan demikian pengelolaan areal eks PT BRT masih menjadi tanggung jawab PT Inhutani V.

        1. HPH Skala Kecil

Telah ada 4 pemohon HPH Skala Kecil yang direkomendasikan Gubernur untuk mendapat persetujuan lokasi dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan tetapi sampai saat ini belum ada realisasinya. Hal ini disebabkan adanya kebijakan baru Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk menunda sementara pemberian HPH Skala Kecil sampai waktu yang belum ditentukan. Dengan demikian areal yang telah direkomendasikan tersebut belum ada pengelolaanya, sehingga memperberat tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam pengamanan hutan.

    1. BIDANG PERKEBUNAN
      1. Umum
        1. Perkebunan Rakyat
          • Produktivitas

Produktivitas merupakan salah satu tolok ukur dalam mengevaluasi kinerja dari para pelaku agribisnis perkebunan. Pada umumnya produktivitas masih rendah, seperti kopi baru mencapai 0,366 ton/ha, karet 0,58 ton/ha dan kelapa sawit 1,839 ton/ha. Kondisi ini banyak dipengaruhi oleh ketersediaan dan daya beli masyarakat terhadap sarana produksi, demikian juga aspek benih (bahan tanaman) yang digunakan.

Bahan tanaman dan pemenuhan sarana produksi yang lebih memadai dapat meningkatkan produktivitas kebun seperti dari sample kebun karet TCSSP yang diamati, diperoleh produktivitas 1,2 ton/ha.

          • Permodalan

Pada umumnya usaha tani perkebunan rakyat mengandalkan tenaga dan lahan tanaman seadanya sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas kebun.

          • Keterampilan

Keterampilan teknis yang dimiliki petani sangat terbatas sehingga petani belum maksimal dalam merespon teknologi baru. Keterampilan manajerial merupakan faktor penentu dalam mempercepat berkembangnya usaha perkebunan. Faktor ini juga akan menentukan tingkat produktivitas dan efisien usaha.

        1. Perkebunan Besar
          • Manajemen

Manajemen merupakan rangkaian upaya-upaya untuk mengkoordinasikan sumber-sumber tenaga manusia, modal, alat/mesin, metode dan lahan untuk mendapatkan tambahan produksi perkebunan (sebagai sasaran antara) dan pemasaran hasil untuk memperoleh nilai tambah/keuntungan sebesar-besarnya dari usaha tersebut. Kelemahan-kelemahan pada perkebunan besar umumnya berawal dari penjaringan tenaga kerja yang kurang memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan, modal yang terbatas serta kesungguhan dari pemilik perusahaan untuk berkebun kurang memadai.

          • Lahan
            • Keadaan topografi merupakan faktor pembatas sesuai dengan perkembangan ketersediaan teknologi dalam penyiapan lahan.
            • Adanya gugatan dari masyarakat terhadap lahan-lahan kebun yang telah berjalan menyebabkan konflik sosial yang berkepanjangan. Akibatnya kinerja perusahaan menjadi menurun.
          • Analisa Mengenai Dampak Lingkungan

Adanya kebun-kebun yang belum melengkapi dokumen AMDAL maupun pelaksanaan kegiatan UPL-UKL yang belum sesuai dengan kebutuhan AMDAL setempat yang berakibat terjadinya pencemaran limbah terhadap perairan umum.

Terhadap perusahaan tersebut telah dilakukan pemeriksaan ke lapangan, memberikan peringatan dan teguran sesuai dengan peraturan yang berlaku.

      1. Khusus
        1. Keberadaan perusahaan PT. Laras Eka Mulya sampai saat ini masih dalam penyelesaian permasalahan yang diawali dengan adanya pro dan kontra dari masyarakat setempat atas kehadiran perusahaan tersebut. Dikaitkan dengan berbagai pertimbangan sampai dengan saat sekarang Pemerintah Daerah masih menunda untuk berlanjutnya aktifitas perusahaan tersebut. Kebijaksanaan tersebut didasarkan atas telaahan dari Komisi Daerah terhadap dokumen perusahaan.
        2. Perijinan
          • Masih terdapat kebun yang sudah mempunyai HGU dan telah mendapatkan Ijin Tetap namun belum melakukan pendaftaran ulang sesuai ketentuan keputusan MENHUTBUN No. 107/Kpts-II/1999 23 Maret 1999. Kebun-kebun yang belum diterbitkan HGU-nya namun belum memproses Ijin Usaha Perkebunan.
          • Terdapatnya Ijin Lokasi sebelum Ijin Usaha Perkebunan diterbitkan.

Kepada perusahaan yang telah HGU dan memperoleh ijin tetap agar segera melakukan pendaftaran dan bagi perusahaan yang belum HGU agar memproses kembali IUP-nya. Kepada perusahaan yang sudah terlanjur memperoleh ijin lokasi agar segera memproses IUP-nya sesuai ketentuan yang berlaku.

  1. UPAYA PENYELESAIAN MASALAH
    1. BIDANG KEHUTANAN
      1. Umum
        1. Dengan memperhatikan luas hutan Propinsi Bengkulu 76% berupa kawasan lindung , maka langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam pembangunan kehutanan, antara lain:
          • Pengembangan ekowisata (Ecotourism)
          • Penangkaran satwa misalnya rusa, buaya, burung, dll
          • Pemanfaatan jasa lingkungan (air bersih, air panas)
        2. Untuk mengatasi masalah perambahan khususnya di hutan produksi dan hutan lindung telah dilakukan upaya-upaya:
          • Rehabilitasi hutan yang rusak dengan pohon serba guna melalui reboisasi dan pengembangan hutan kemasyarakatan dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
          • Dengan bantuan OECF pada tahun ini sedang dilaksanakan Proyek Percontohan Hutan Kemasyarakatan seluas 2.000 ha di Hutan Lindung Bukit Daun, Kabupaten Rejang Lebong.
          • Pembinaan daerah penyangga di sekitar hutan lindung/konservasi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat mencegah kerusakan hutan antara lain berupa : pemberian bantuan tungku pemasak gula aren dengan bahan bakar batu bara, bantuan ternak, penanaman aren, dll.
          • Penanaman batas kawasan hutan dengan jenis pohon serba guna (pinang) yang bermanfaat bagi masyarakat setempat dan membuat batas kawasan menjadi jelas.
        3. Dalam rangka mengurangi terjadinya penebangan ilegal telah dilakukan upaya yang bersifat preventif maupun represif:
          • Operasi pengamanan hutan baik secara fungsional maupun gabungan.
          • Penertiban lalu lintas hasil hutan dengan melakukan pemeriksaan di Pos Pemeriksaan hasil hutan.
        4. Guna mengatasi kekurangan pasokan bahan baku kayu bulat bagi industri perkayuan di Propinsi Bengkulu dilakukan upaya antara lain:
          • Penertiban industri perkayuan (penggergajian) dengan berkoordinasi bersama instansi terkait (Perindustrian dan Perdagangan, PEMDA, Kepolisian).
          • Memberikan kesempatan kepada IPKH untuk memanfaatkan kayu-kayu berdiameter kecil (<30 cm) di areal IPK.
      2. khusus
        1. Pengelolaan Areal Eks PT MJRT

Kepada PT Inhutani V dan PT Sumaru Kencana telah didesak agar segera memulai kegiatan pengelolaan hutannya dengan diawali sosialisasi dan penyelesaian bagan kerja. Sosialisasi telah dilakukan dan bagan kerja menunggu pengesahan dari Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi.

Terhadap permasalahan klaim pohon damar oleh masyarakat adat yang belum tuntas perlu diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh manajemen baru misalnya dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengelola bagian areal HPH guna memproduksi hasil hutan.

        1. Pengelolaan LGC UNIB

Untuk menghindari meluasnya perambahan dan penebangan ilegal di lapangan, maka kepada UNIB telah diminta untuk segera melaksanakan kegiatan fisik antara lain : pemasangan papan pengumuman/larangan, menyelesaikan survey dan inventarisasi, tata batas, pembangunan fasilitas (base camp dan infrastruktur lain) disamping secara administratif menyelesaikan AMDAL dan RKL dan RPL-nya.

        1. Pengelolaan Areal Eks PT BRT

Kepada PT Inhiutani V telah dinyatakan tentang kelanjutan kerjasamanya dengan PT BRT dan diperoleh penjelasan bahwa kerjasamanya tidak dilanjutkan dan akan dicari partner baru. Dengan demikian PT Hasil Hutani Makmur mempunyai peluang besar untuk berpatungan dengan PT Inhutani V.

        1. HPH Skala Kecil

Secara lisan telah beberapa kali ditanyakan ke Departemen Kehutanan dan Perkebunan tentang realisasi usulan pemberian HPH Skala Kecil kepada 4 perusahaan yang telah direkomendasi oleh Gubernur, namun demikian belum juga ada realisasinya. Oleh karena itu dipandang perlu ada surat tertulis dari Gubernur untuk menanyakan hal tersebut.

    1. BIDANG PERKEBUNAN
      1. Perkebunan Rakyat
        1. Upaya untuk meningkatkan produktifitas lahan ditempuh dengan upaya penanaman tanaman sela (tumpangsari) antara lain dengan padi gogo dan jagung.
        2. Pembinaan kebun rakyat diarahkan untuk pemupukan modal baik yang bersumber dari petani sendiri maupun dari kredit perbankan.
        3. Melaksanakan penyebaran tenaga lapangan sesuai dengan rencana pengembangan perkebunan.
        4. Melakukan revitalisasi dan relokasi Unit Pembinaan dan Pengembangan (UPP) ke daerah yang masih berpotensi untuk dikembangkan.
      2. Perkebunan Besar
        1. Melaksanakan pembinan berupaya konstatasi setiap tahun dan klasifikasi kebun setiap 3 tahun serta melaksanakan pembinaan dalam bentuk pertemuan untuk mengkoordinasikan aspek-aspek yang harus dilakukan oleh perusahaan.
        2. Mengintroduksi metode pembukaan lahan dengan memperhatikan aspek konservasi terutama untuk lokasi dengan topografi berat.
        3. Kepada perusahaan yang belum memenuhi ketentuan proses perijinan seperti diatur dalam keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107/Kpts-II/1999 23 Maret 1999 telah dilakukan pembinaan dan teguran.
        4. Menggalakkan kemitraan usaha bidang perkebunan dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar wilayah pengembangan dengan menumbuhkan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN).

  1. PENUTUP

Dengan pendekatan baru pembangunan kehutanan dan perkebunan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak dan tidak lagi hanya bertumpu pada hasil hutan berupa kayu tetapi pada aneka hasil hutan serta intensifikasi usaha perkebunan, diharapkan pembangunan kehutanan dan perkebunan dapat menjadi tulang punggung pemberdayaan masyarakat dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara nyata, utuh dan bertanggung jawab.

Untuk terwujudnya hal tersebut diperlukan dukungan yang memadai dalam sumber daya manusia, sarana prasarana, pemanfaatan tehnologi tepat guna yang bermuatan ciri khas daerah dan kerjasama yang harmonis dengan instansi yang terkait maupun masyarakat setempat.

Pemuda pujaan dari impian dan bayangan

Gambar

Bila sholat tiang agama, maka pemuda tiangnya negara

Berbicara tentang peranan strategis pemuda dalam konteks nation state adalah hal yang nisbi, karena pasti dipaksa membandingkan peran sosok pemuda dimasa pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan republik.

 Pemuda atau lebih tepatnya kaum muda lahir dari sebuah kata yang tidak hanya terkotak dalam jenjang usia, tapi lebih dari itu kita harus melihat dari sejarah historis berdirinya republik Indonesia. Sekelompok kekuatan sosial politik pra kemerdekaan yang mendorong lahirnya nasionalisme dan proklamasi kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia.

 Dari realita nyata inilah, dimana pemuda pernah menjadi kekuatan alternatif dan strategis dalam sejarah berdirinya bangsa ini, maka diperlukan kajian historis peran pemuda agar tak salah kaprah, berjalan ditengah bayang-bayang sosok kelompok progresif yang pernah bersumbangsih nyata lahirnya  republik. Sebuah refleksi yang mendalam, yang bukan bermaksud membutuhkan pengakuan dari penguasa saat ini, tapi lebih dari itu.

 Kajian historis merupakan upaya dialektis, dinamis dan romantis untuk mengetahui perkembangan dinamika ide, organisasi maupun aksi pemuda yang sangat berpengaruh pada wacana ormas kepemudaan kontemporer maupun analisa ke depan agenda kepemudaan. Takashi Shiraishi menjelaskan, di zaman pergerakan, pemimpin pergerakan berpikir, menulis, dan berkata serta bertindak sebagai orang pertama. Dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak. Akhirnya kita pun sekarang masih dapat melihat dunia mereka dengan mengikuti kata dan perbuatan mereka yang tergores dalam tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan.

 Meng-Indonesianya ide-ide persamaan, kemerdekaan, hak asasi manusia, martabat bangsa dan lain-lainnya, yang didapatkan dari pendidikan barat, menantang pemuda-pemuda ini untuk berpikir. Perkenalan dengan pendidikan Barat yang berhimpit dengan perubahan yang cepat menimbulkan “krisis pemikiran” dalam hati banyak pemuda Indonesia. Karena di dalam kenyataan sehari-hari ia melihat bentuk-bentuk yang paling kasar dari penghinaan terhadap manusia dan dirinya sendiri. Kegembiraan dan kegairahan bercampur menjadi manusia satu dengan kemuakan dan kesedihan melihat cita-cita di muka dan kenyataan yang ada.

 Hal itu yang kemudian menjadikan gagalnya usaha Belanda tersebut untuk mencegah pergerakan/pemberontakan rakyat, karena justru melahirkan para pemimpin pergerakan yang mempunyai wawasan yang lebih luas dan dengan metode, strategi, dan pengorganisiran yang lebih maju dan baru yang mana basis massanya tetap buruh dan petani.

 Aksi-aksi protes kaum tani, baik dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan, bukanlah perwujudan nasionalisme yang kuat maknanya, karena hanya mewakili suatu pola dari protes melawan pemerintah Hindia Belanda yang segera diambil untuk digarap oleh para pemimpin nasionalis yang kemudian mengarahkan. Kaum muda terpelajar kemudian menjadi identitas tersendiri yang kemudian melahirkan nasionalisme Indonesia yang menjawab “alasan berdirinya sebuah bangsa”, yang kemudian jawabannya seperti yang termaktub dalam Sumpah Pemuda.

 Seperti halnya dengan kata kaum muda, kata pemuda juga menemukan artinya tersendiri di masa perang revolusi kemerdekaan nasional Indonesia. Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol zaman itu. Bagi Belanda yang sedang berusaha datang kembali dan Inggris sekutu mereka, dan juga masyarakat Indo dan Tionghoa, kata pemuda, yang “dulu” biasa saja dengan cepat memperoleh pancar cahaya yang menakutkan dan kejam. Di pihak Indonesia, terdapat suatu kepustakaan yang berisi pemujaan, yang memperlihatkan kesadaran yang menggembirakan akan kebangkitan pemuda yang tiba-tiba sebagai kekuatan revolusioner pada saat-saat yang gawat itu.

 Mengagendakan Peranan Strategis Pemuda

Kelahiran pergerakan nasional, revolusi kemerdekaan 45, pergantian kekuasaan tahun 1966, dan reformasi 1998, adalah lahirnya sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik,. Periode-periode itu juga telah menjadi saksi atas sikap sejarah dan sikap politik kaum muda untuk bertindak, membangun jiwa dan badan Indonesia Raya. Maka sejarah pemuda adalah sejarah pikiran dan sejarah tindakan (sejarah pikiran yang bertindak).

 Mei 1998 adalah pelajaran, apa yang telah didapatkan dalam perjuangan harus diterus dimajukan secara simultan. Demokratisasi pasca tumbangnya rezim otoritarian, mensyaratkan adanya konsolidasi demokrasi demi pelaksanaan program-progam reformasi yang mensyaratkan pelembagaan-pelembagaan demokrasi.

 Transisi demokrasi, merupakan jalinan potensial bagi upaya-upaya melahirkan paradigma baru kekuasaan, tata nilai baru masyarakat, serta rumusan-rumusan baru the rulling class dan the rulling system di Indonesia, dan kaum muda harus mampu mengerjakan itu semua. Mulai dari menyusun sistem nilai bagi kekuasaan dan masyarakat hingga di dataran praktis, di aras masyarakat kaum muda harus mampu memberikan penjelasan sistematis, tenaga potensial perubahan dan bagian dari perjuangan rakyat Di aras bernegara kaum muda harus mulai membangun kapasitas untuk mampu melakukan struggle of power untuk membangun rulling class dan rulling system yang sesuai dengan cita-cita Proklamasi 1945 dan Reformasi 1998.

 Pemilu harus dimaknai bukan dalam kerangka prosedural bagi elit untuk memasuki jenjang kekuasaan. Pemilu dihadirkan tidak saja bagi legitimasi kekuasaan di dalam maupun di luar negeri. Tetapi Pemilu sebagai upaya pemberdayaan masyarakat politik sebagai lanjutan dari bangunan civil society dan penolakan bagi kembalinya kekuatan otoritarian.

 Disinilah tantangan bagi kaum muda, harus menjadi kekuatan politik alternatif, artinya kaum muda tidak hanya diharuskan sanggup mengorganisir masyarakat sipil, tetapi juga mampu menunjukkan kapasitas politik di mata masyarakat politik, militer dan internasional bahwa kaum muda adalah solusi bagi kepemimpinan politik dan regenerasi politik Indonesia, artinya di sini kaum muda harus memiliki kemampuan berbicara soal strategis, misalnya security sector reform, pembaruan agraria, industrialisasi, kedaulatan pangan dan sebagainya yang mana itu harus didukung oleh kemampuan melakukan komunikasi politik dan komunikasi massa lainnya.

Hilang

Bila kalian ingin tau keadilan tanyakan kepada ke-enam warga desa itu, ketika mereka dihukum oleh Negara karena dianggap sebagai pelanggar tata aturan yang musti diberi pelajaran, supaya lebih tau bahwa keberadaan mereka di Negara kesatuan ini harus tunduk dan patuh pada aturan.

 

Jalan aspal itu telah bopeng, tidak.. bukan bopeng, mungkin lebih tepatnya itu bukan jalan tapi sebuah lorong menuju sebuah tempat desa yang dianggap oleh sang penguasa sebagai desa yang penghuninya adalah kumpulan orang bar-bar, sehingga dinggap perlu mengirimkan pasukan pengaman bersenjata lengkap untuk mengepung rumah tuhan tempat berkumpulnya penghuni desa.

 

Perlawanan rakyat desa yang dianggap oleh penguasa sebagai kerusuhan itu sungguh mengejutkan, perlawanan didesa tua itu terjadi seperti bunga api yang menyambar-nyambar sekelilingnya, memercik sedemikian rupa, mendatangi dan menghanguskan perusahaan yang tak pernah permisi pada mereka sebagai pewaris desa. Hasilnya, Negara menganggap ke-enam warga harus diminta pertanggung jawabannya .

 

Gunawan Muhammad pernah menceritakan dengan ciamik sebuah adegan cerita yang dipanggungkan diparis tepatnya di Place du Louvre, Dario fo seniman asal Italia yang pada tahun 60-an bersama komunitasnya bercerita pada para penduduk Italia tentang keadaan buruk hidup mereka. Bercerita tentang Mistero Buffo (misteri jenaka)yang berisi tentang karya pendek yang menyindir para penguasa dengan cara mereka memanggungkan kehidupan mereka kedalam sebuah cerita.

 

Pernah mereka bercerita tentang sekumpulan nabi yang setelah minum-minum lalu mabuk dan merperolok siapa saja yang dihadapannya, menceritakan bahwa tuhan seakan-akan digambarkan sebagai sosok yang memilih dengan sesuka hati orang yang akan diberi kekuasaan atau tanah, atau sebaliknya, diberi nasib buruk atau nista. “kalau si manusia mengeluh!” ancam tuhan “Aku akan lemparkan kalian masuk dalam Neraka”.

 

Penggambaran terhadap perbuatan semena-mena sang penguasa yang dengan sesuka hatinya melemparkan ke-enam warga desa Tua itu kedalam penjara, karena dianggap kumpulan para pengeluh yang membangkang kepada putusan para penguasa.

 

“Perusahaan itu telah melakukan kebohongan public, Menipu Kami dan sekarang mereka melalui tangan yang lain menghukum kami” nyaring terdengar orasi pria berumur  40an tahun itu, mereka memakai kain merah yang dililitkan dikepala, acungkan tangan dalam barisan perlawan mereka. Perlawanan yang bukan mereka dapatkan dari membaca buku, bukan karena mereka mahir bersilat lidah seperti para kumpulan politisi digedung bundar sana. Tapi karena sebuah sebab : mereka ingin diberi ruang yang lebih besar, dilibatkan dalam mengelola desa mereka, sesuatu yang muncul dari pemandangan yang mereka lihat sehari-hari. Bukan rengekan dari anak kecil yang meminta mainan pada orang tuanya, tetapi sebuah ekspresi kerinduan tuk diakui keberadaannya oleh orang tuanya.. sebuah harap anak bangsa untuk sama dihadapan Negara.

 

Jauh diseberang sana, ribuan Kilometer jaraknya, ditahun 30-an. Perancis dibawah pendudukan jerman. Rakyat perancis melawan rezim Nazi dengan diam, tidak berkata apa-apa dengan tirani yang ada. Sebuah republic yang dibangun dan direbut oleh masyarakat yang menolak membuka dialog dengan kezaliman saat itu. Yang pada akhirnya kediaman mereka berujung kekerasan yang terorganisir dengan rapi, karena seorang Hitler tak pernah lengser karena Dialog.

 

Hukuman kepada enam (6) anak bangsa itu dijatuhkan,.. mereka bukan tak percaya pada hukum, tapi system rezim ini nyata-nyata telah mengingkari keadilan hukum. Mereka melawan dengan cara yang tidak diharapkan para penguasa ketika keadilan mereka dilecehkan. “Ketika perjuangan jalur hukum telah selesai, mara rakyat akan menempuh jalan yang lain” ungkap seorang kawan, ungkapan ini pasti tercipta ketika masyarakat terlalu lama ditindas. Ketika kumpulan gerutuan rakyat terhadap rezim berubah menjadi tuntutan yang memburu dan harus segera dijawab. Berbaris berpegang tangan erat wujudkan kemarahannya. Pada titik ini para penguasa tak dapat lagi mempertahankan aturan kosong yang berlogat pertapa suci. Pihan yang tersisa saat ini terjadi : segera menjawab tuntutan rakyat atau mati digilas sejarah.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht . Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Kartini mendapatkan inspirasi dari kalimat Kitab Sucinya ‘mina dulumati ila nuur’.

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Menyingkap Perjuangan Perempuan Lokal

 

SITI Roehana Koeddoes lahir pada tanggal 20 Desember 1884 di Kotogadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya seorang hoofd djaksa. Roehana adalah kakak sulung, seayah lain ibu dengan Perdana Menteri I RI, Soetan Sjahrir dan masih satu nenek dengan Agus Salim.Kotogadang sendiri adalah salah satu nagari Minangkabau yang banyak melahirkan intelektual. Orangtua dan ninik mamak saling bahu-membahu, kalau perlu menggadaikan sawah dan ladang-untuk menyekolahkan anak laki-laki ke luar Kotogadang ke Batavia, bahkan sampai ke Belanda.

Tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Ajaran adat dan ajaran agama yang penafsirannya mengekang kemajuan perempuan, membuat perempuan terpuruk dalam kebodohan dan perlakuan tidak adil, meski dengan sistem matriarkat harta warisan jatuh kepada garis keturunan perempuan. Bukan pemandangan aneh pada waktu itu bila banyak laki-laki intelektual yang berkomunikasi dalam bahasa Melayu dan Belanda memiliki istri yang buta huruf, bahkan mengaji pun hanya bisa dalam hafalan, bukan membaca hurufnya.

Dalam kondisi seperti ini Roehana tumbuh dan berkembang. Ayahnya yang sering berpindah tugas membuat Roehana kecil mempunyai pengalaman tinggal di luar Kotogadang dan memberikannya wawasan yang membuat cakrawala berpikirnya lebih luas. Pada usia balita, Roehana sudah memperlihatkan minatnya yang tinggi untuk belajar baca-tulis, dan beruntung pula, ayahnya tidak terpaku pada adat istiadat serta ajaran agama yang cenderung mengekang anak perempuan.

Oleh karena tidak ada sekolah formal untuk perempuan di lingkungan mereka tinggal, Roehana belajar baca-tulis abjad Latin dan Arab. Bahasa Melayu dan Belanda dipelajari secara otodidak di rumah. Ayahnya melanggankan bacaan untuk anak-anak langsung dari Singapura. Sikap ini sungguh luar biasa kalau melihat perhatian ninik-mamak dan orangtua saat itu lebih mengutamakan anak laki-laki.

***

KETIKA ayahnya pindah tugas ke Pasaman, Roehana yang suka membaca lantang di teras orangtuanya menarik perhatian teman-teman barunya. Mereka mendengarkan, bahkan kemudian minta diajari membaca dan menulis. Roehana yang waktu itu berumur delapan tahun melakukannya dengan senang hati di teras rumahnya. Ayahnya tak hanya memberi izin, tetapi juga membelikan peralatan menulis, dan turut memberikan pelajaran agama. Pada usia 13 tahun ibu kandung Roehana meninggal. Roehana tetap tinggal dengan ayahnya.

Pada usia 17 tahun, Roehana tinggal di rumah nenek dari pihak ibunya, menjadi adik sekaligus ayah bagi adiknya. Situasi Kotogadang masih belum berubah. Banyak anak perempuan menikah pada usia sangat muda dan kepercayaan bahwa perempuan tabu bersekolah masih sangat kuat. Menikah dengan laki-laki bukan dari Kotogadang adalah aib.

Meski ragu dengan kondisi ini Roehana mencoba mengajak teman seusianya yang buta huruf untuk belajar membaca dan menulis. Mula-mula sangat sulit, tetapi akhirnya mereka tertarik juga.

Roehana menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Koeddoes, keponakan ayahnya yang berpikiran maju. Abdul Koeddoes aktif dalam organisasi bawah tanah melawan Belanda dan aktif menulis mengenai politik di surat kabar yang terbit di Padang.

Beberapa bulan setelah menikah, Roehana dihasut, kegiatannya mengumpulkan gadis-gadis itu dinilai hanya merusak pekerti mereka. Mereka takut pendidikan baca-tulis yang diberikan Roehana akan membuat gadis-gadis itu lupa kewajibannya untuk menikah dan tak pandai mengurus rumah tangga.

Melalui perjuangan keras di hadapan para tetua perempuan, Roehana mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), semacam sekolah keterampilan ditambah ilmu pengetahuan lainnya-dan agama-untuk para gadis pada tahun 1911. Di kemudian hari ia difitnah dengan berbagai isu untuk menjatuhkan kedudukannya sebagai Ketua KAS.

Kebiasaannya menulis isi hatinya dalam bentuk cerita dan syair dalam buku membuat ia berniat menulis di surat kabar, supaya bisa memberi dan mendapatkan ilmu dari perempuan lainnya di tanah Melayu. Ia kemudian menulis surat kepada Maharaja Soetan, Pemimpin Redaksi Surat Kabar Oetoesan Melajoe.

Tahun 1912 terbit surat kabar Soenting Melajoe dan ia bertindak sebagai redaktur pelaksana. Tulisan Roehana banyak menyoroti kehidupan perempuan yang digambarkannya hanya sebagai perhiasan rumah tangga yang dikekang berbagai ajaran adat dan kepercayaan. Ia juga menyoroti sistem matriarkat Minangkabau yang cenderung hanya memperhatikan tali persaudaraan dari garis ibu, selain menyoroti kehidupan para nyai Belanda di Jawa, perempuan buruh pabrik dan lain-lain yang pada dasarnya mengangkat suara perempuan. Meskipun Soenting Melajoe tutup pada tahun 1921, Roehana masih menulis sampai usianya mencapai 60 tahun.

Tahun 1917 ia mendirikan Roehana School di Bukittinggi untuk anak perempuan dan laki-laki. Ia meninggal di Jakarta tanggal 17 Agustus 1972 dalam usia 88 tahun dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. (nmp/mh)

 

Suasana hati………….

Sayang betapa hangatnya bila malam malam taksendiri……..dirimu yang jauh disana terasa dekat dihati….betapa hangatnya tubuh ini..bila dalam dekapanmu..cumbuanmu yang pemuh kemesraan..hari demi hari cinta semakin bersemi .cinta jangan di biarkan tanpa kenangan yang indah…disini kukedinginan menungguhmu pulang…bila rindu datang hati ini terasa tercekam…bila malam datang hati mesara ketakutan…seakan engkau yang disana hanyut dalam pelukan..disini saya hanya bisa menghitung satu detik yang berlalu dan mengenang semua kata katamu.. oh bengkulu sampaikan salam rinduku untuknya yang jau disana…disini kumenunggunya.

Sebuah cermin

cermin itu bisu tapi dia tahu segalanya.cermin itu tak pernah bohong,entah kenapa aku selalu bicara padanya yang tak dapat berucap

.seolah ku percaya dia satu-satunya temanku yang selalu jujur padaku.bagaimana diriku ini,yang begitu keras kepala dapat luluh dihadapan cermin dalam sekejap mata.tak urung beda saat ku bercermin terhadap keagungan TUHAN

yang begitu banyak memberiku nikmat,dengan rasa syukur ini,nikmat akan menjadi lebih nikmat

sekecil apapun itu bila kita dapat memaknainya dengan sungguh hati.saat nikmat itu ada syukur itu nbegitu indah,saat duka lara menghalang syukur itu masih kupegang dengan segenggam harap

ku percaya cermin dalam diriku tak pernah bohong begitu juga cermin dalam hatiku yang selalu bersinar dikala malam redup………….

jelajah pulau Nias

G E N E S I S

Bekerja, bersuara, berjuang bersama rakyat

Secarik Kertas

Alamimu, semerbak Aroma Melati, Aku Hafal Betul Harumnya.